26 Januari 2014
Hai kamu. Dan kamu
Don't be suprised
kalo tiba-tiba saya nulis surat seperti ini buat kamu, dan kamu. We've been through many years together.
Dan karena sekarang saya harus tinggal di Jogja, jadi ya begini, trapped in
so-called-long-distance-relationship circumstance. Apa daya kening tak
sampai. Semoga jarak tak jadi masalah buatku, juga buat kamu, dan kamu. Kita.
Cinta saya ke kamu harus saya
sampaikan. And since we are physically
separated by miles, this expression must come in the from of letters such as
this. Semoga surat cinta ini spesial buatmu. Se-spesial bakmi Jawa pake
udangnya Bu Gun di Sari Rasa. Se-spesial kamu buat saya. Special letter. Untuk kamu, dan untuk kamu.
Masih ingat?
Jeans butut, kaos oblong dan
jaket hitam kesayangamu? Yang kamu pakai untuk mendatangiku?
Aku ingat
Karna pengumuman dadakan itu,
yang mengharuskan aku pergi ke jogja siang itu, kamu akhirnya datang dengan
angkutan umum. Kamu capek saya tau, kamu sibuk, tapi kamu datang mengantar
saya, mengejar keinginan saya.
Anak rambutmu yang mulai
gondrong berkibar tertiup angin dan jaket hitam yang asal kamu kenakan ga jadi
perhatian kamu. Yang penting buatmu saat itu, bertemu denganku secepatnya,
sebelum aku pergi,,, hanya sehari, ya sehari yang membuatmu khawatir karna aku
menolak untuk kamu antar.
Masih saya ingat.
Kamu. Yang tak bisa
membiarkanku aku sakit panas, mimisan karna keinginanku tak terpenuhi. Kamu.
yang akhirnya mengalah hanya demi melihat aku sehat dan kembali ceria lagi.
Masih saya ingat.
Hujan besar pukul 5 sore itu.
Aku dan kamu duduk berdampingan dengan lengan mendekap lutut masing-masing
sambil mengamati tumpahan air yang yang tidak berhenti jatuh dari atap gerobak
mas Marno. Jaket hitam kesayanganmu terpaksa kau biarkan basah untuk menutupi
tubuh kedinginanku.
“Sabar”
Begitu kamu bilang, bahkan
perut keroncongan yang beradu dengan derasnya hujan tak kau hiraukan.
“Sabar. Berdoa.”
Masih saya ingat.
“gak papa, kamu sakit sekarang itu lebih baik, dari pada
semakin jauh.”
Begitu kamu bilang. Meskipun
bisa kubayangkan matamu ikut basah begitu kudengar suaramu tercekat di seberang
telepon. Satu-satunya obat yang saya butuhkan waktu itu, kamu.
Masih saya ingat.
Caramu memahami setiap kali
kubilang nasi goreng buatanmu paling mantep sedunia, means aku rindu nasi goreng buatanmu. Lalu, there you are... duduk di sisiku sambil mengejek puas ketika nasi
goreng buatanmu perlahan punah dari muka bumi. Dan bayaran untuk sepiring nasi
goreng spesial itu, segenggam pijitan dariku. yang Anyway aku selalu suka bau matahari yang bercampur disweatermu, juga aroma sarungmu yang sering kau gunakan untuk
menutupi wajahku.
Masih saya ingat
Caramu mengeluarkan jurus
untuk nada minor sumbang keluar dari tubuhmu membuat kita tertawa geli.Aku selalu ingat dandanan gagahmu dalam balutan jas, sarung dan peci.
Caramu mengejek Bepe idolaku
saat Persija kalah dari Tim kebangganmu Persib. Cara kita saling cela
membanggakan tim masing-masing. Dan caramu mengusiliku saat kita sedang beradu
permainan congklak sore itu. Semua terasa manis semanis teh yang selalu
kubuatkan untukmu tiap sore, sehangat wedang jahe buatanmu saat hujan tiba.
Masih ingat
perjalanan-perjalanan seru kita?
Kamu. Yang paling konsisten
dengan kata-katamu. Perjalanan yang benar-benar “perjalanan” kaki jika
denganmu. Kamu orang yang mengajariku untuk doyan makan singkong, singkong
gagal yang rasanya krenyes-krenyes kataku. Kamu yang mengajakku berburu belut
di tengah kubangan lumpur balong di Kuningan yang ternyata aku alergi.
Kamu. Partner naik pohon
mangga, rambutan dan kedondong di belakang rumah di Kuningan. Rival terberat
untuk rebutan sambel dan sayur asem. Kamu. Teman berburu kelapa muda di
bubulak. Pelahap duren ulung yang patut di acungi jempol.
Masih saya ingat.
Telponmu yang seperti orang
minum obat, 3 kali sehari. Dengan pertanyaan yang sama setiap hari. “udah bangun
belom?” “kuliah ga?” “lagi ngapain?” “udah makan belom?” “kalo maen jangan
pulang malem-malem.” Semua pertanyaanmu sudah melekat manis dikepalaku, sayang.
Masih saya ingat.
Bagaimana marahnya aku saat
kamu tak meneleponku satu minggu penuh. Yang kemudian balik aku yang tak
memberi kabar padamu. Hingga kusesali saat tau alasanmu saat itu.
“Ibu... kangen.”
“Tya kapan pulang?”
Kamu.
Masih saya ingat.
Sewaktu kita diskusi tentang
undangan pernikahan yang ingin kubuat kelak. Aku ingin undangan yang bagus dan
mahal, nikahannya di gedung , yang kamu jawab dengan ejekan, tapi aku tau
diam-diam kamu mengamini ucapanku. Sangat manis. Semanis sikap-sikapmu ke saya.
Selalu ada Kamu.
Begitu juga Kamu.
Banyak hal lain yang tentunya
masih dan akan selalu saya ingat.
Tetapi hanya satu hal yang
saya ingin kamu, dan kamu, selalu ingat.
Dear (Alm) Bapak Wawan Senawan
Madrahim dan Ibu Taslimah, cinta dari Ibu dan Bapak terlalu besar dan tak
terhingga untuk membuat saya tidak mungkin tidak mencintai kalian lebih.
Saya cinta Kamu, dan Kamu.
Salam bakti,
Putri Tomboymu.